JAKARTA (The Jakarta Post / ANN): Peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memungkinkan hutan diubah menjadi lahan pertanian untuk mendukung program food estate pemerintah telah memicu kekhawatiran akan potensi deforestasi besar-besaran, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (Walhi).
Peraturan menteri tentang peruntukan kembali hutan untuk pengembangan kawasan pangan, yang ditandatangani oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar pada 26 Oktober, memungkinkan hutan diubah menjadi lahan pertanian di kawasan lindung dan produksi.
“Terbitnya peraturan menteri ini menunjukkan sisi buruk dari program food estate. Ini akan mempercepat deforestasi di negara kita dan merusak lingkungan,” kata Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati dalam keterangannya, Senin (16/11).
Pasal 19 Perpres tersebut mengatur bahwa kawasan hutan lindung dapat diubah menjadi Kawasan Hutan Ketahanan Pangan (KHKP) sepanjang hutan tersebut tidak sepenuhnya berfungsi sebagai hutan lindung.
Menteri, gubernur, kepala negara, bupati, dan walikota dapat meminta izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengubah hutan produksi dan hutan lindung menjadi KHKP.
Izin pengelolaan KHKP dapat bertahan selama 20 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi pemanfaatan kawasan.
Peraturan baru tersebut juga akan meningkatkan risiko konflik lahan antara perusahaan besar dan petani lokal karena peraturan tersebut tidak memasukkan skema pertanian untuk yang terakhir, kata Nur.
Ia meragukan keberhasilan program food estate, dengan alasan kegagalan program serupa pada masa pemerintahan mantan presiden Soeharto.
Pada pertengahan 1990-an, mantan orang kuat itu berupaya mengembangkan proyek food estate yang disebut Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) seluas sekitar 1,4 juta ha di Kalimantan Tengah.
Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dikabarkan menggunakan sebagian lahan eks PLG untuk mengembangkan food estate-nya.
“PLG merugikan negara Rp 1,6 triliun [US$113.24 million), failed to make [the converted forests] menjadi lumbung pangan nasional. Justru sebagian areal PLG dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, bahkan sampai sekarang masih ada, ”kata Nur.
“Ironisnya, dana yang digunakan untuk mendanai proyek itu diambil dari dana reboisasi negara,” imbuhnya.
Pemerintahan Jokowi meluncurkan program food estate yang melibatkan pengembangan sekitar 164.600 hektar lahan di Kalimantan Tengah dan 61.000 hektar lahan di Sumatera Utara sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional untuk periode 2020-2024.
Perkebunan pangan akan dikembangkan untuk tanaman seperti padi, kentang, bawang merah, dan bawang putih. Pemerintah menegaskan bahwa food estate sangat penting karena krisis Covid-19 telah memperburuk masalah ketahanan pangan Indonesia.
Proyek tersebut juga ditujukan untuk mengatasi masalah distribusi pangan di seluruh nusantara, perubahan tata guna lahan, khususnya di Jawa, dan peningkatan jumlah penduduk negara. Pada akhir April, sebulan setelah wabah di negara itu, Jokowi melaporkan bahwa komoditas utama, seperti bawang putih, gula, cabai dan telur ayam, kekurangan pasokan di lebih dari 20 provinsi, sementara beras, makanan pokok masyarakat Indonesia, mengalami kekurangan pasokan. kurang di tujuh provinsi.
Kantor World Food Programme (WFP) Indonesia memperkirakan bahwa negara tersebut mengalami penurunan produksi beras 13,2 persen tahun-ke-tahun menjadi 16,1 juta ton pada paruh pertama tahun 2020.
Penerbitan peraturan tersebut terjadi di tengah kritik dari para pecinta lingkungan terhadap UU Cipta Kerja yang baru-baru ini disahkan, yang melonggarkan aturan tentang perlindungan lingkungan.
“Setelah UU Cipta Kerja disahkan, peraturan menteri tersebut akan semakin mempercepat eksploitasi alam dan deforestasi di negara ini,” kata Nur lebih lanjut.
Pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak segera menanggapi permintaan komentar The Jakarta Post. – The Jakarta Post / Asia News Network
. “Penjelajah. Penggemar bacon yang ramah. Pecandu kopi setia. Gamer seumur hidup. Alcoholaholic bersertifikat.”