Kita sudah membaca semua cerita tentang lubang kuburan dan wilayah laut yang ditelan manusia. Namun pernahkah Anda mendengar cerita tentang gunung yang melahap nyawa manusia? Bukankah ini mengejutkan? Namun ini bukanlah cerita rakyat atau legenda. Ini adalah kenyataan di Bolivia.
Cerro Rico yang terletak di Potosi adalah gunung yang menelan manusia. Inilah yang akan kami ceritakan kepada Anda sekarang. Cerro Rico berarti “pegunungan dasar” dalam bahasa Spanyol. Dulunya terkenal sebagai sumber perak terbesar di dunia, gunung ini kini menyandang gelar pemburu hantu
Bangsa Eropa menguasai banyak belahan dunia. Dalam sejarah Bolivia, Cerro Rico dieksploitasi oleh penjajah ketika berada di bawah kekuasaan Spanyol. Tanah subur mulai tandus. Jutaan penduduk asli dan budak Afrika diperbudak untuk bekerja di pertambangan mereka.
Lingkungan yang keras dan berbahaya yang terjadi di sana merenggut banyak nyawa, menyebabkan gunung tersebut diberi nama Brutal. Saat itu Cerro Rico menjadi “Gunung Pemakan Manusia”. Penambangan perak yang terus menerus melemahkan negara tersebut. Strukturnya melemah karena erosi dan terowongan.
Terletak di ketinggian 4.800 meter, Cerro Rico bukan hanya sebuah monumen bersejarah tetapi juga gunung berapi yang sudah punah dengan masa lalu geologis yang kaya. Sabuk timah dan perak terbentuk pada zaman Miosen. Kemudian terkikis hingga memperlihatkan inti yang kaya akan mineral logam berwarna keperakan.
Gunung ini merupakan simbol sejarah dan budaya Bolivia, serta mencerminkan penderitaan dan eksploitasi rakyatnya. Catatan sejarah masa kolonial Spanyol memberikan gambaran yang mengerikan. 8 juta orang kehilangan nyawa karena kerja kejam yang dilakukan terhadap budak suku dan Afrika yang dipaksa bekerja di pertambangan.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa gunung ini sangat membantu perekonomian Bolivia. Namun kerugian yang diakibatkannya tidak bisa dihindari. Itu berlanjut hingga hari ini. Itu adalah sisi lain dari Gunung Perak.
“Praktisi Internet. Guru zombie total. Pecandu TV seumur hidup. Pelopor budaya pop yang rajin.”